Rabu, 17 Februari 2010

Tatimongan *)

Naiang batubatu
o, Medorong si upung dellu
o, penembali
penembali su wanua

wahai penguasapenguasa
doakan rakyatmu
doakan doa di atas doa
ia yang beri kau kuasa
doakan kesusahannya

wahai para arif bijaksana
beri rakyat kehidupan
beri kehidupan hidup di atas hidup
pada dia yang beri kau kehidupan
beri jalan ia bertemu kesejahteraan

kepada siapa rakyat berkeluh kesah
kepada siapa rakyat memohon keadilan
kepada siapa rakyat meminta tuntunan
bila kehidupan diambil dan dipinggirkan
dipinggirkan dipinggirnya pinggir

o, penguasapenguasa, e
o, para arif bijaksana, e

bila rakyat risau
bila rakyat hampa
bila negara dianggap bencana
ia akan pergi meski tak tahu entah ke mana
pergi entah kemana pergi

o, mohon yang di langit, e
o, besertalah
bersertalah penyertaan
berpuncaklah doa di langit doa
di puncak sembahyang
kiranya meniti di air asin
kencana di lautan emas



*) Tatimongan adalah syair doa pengharapan (penolak bala) orang Nusalawo. Tatimongan biasanya dinyanyikan saat hati merasa putus asa. Sastra Titimongan yang terindah dari abad XIII karya putri Kulano Wowontehu, Uringsangiang berjudul: “Tatimongan Umbolangi”. Syair itu dituturkannya saat Bininta (perahu) kerajaan yang ditumpanginya hanyut terbawa arus angin selatan. Dalam Tatimongan-nya ia memohon agar ayah ibunya serta rakyat kerajaan mendoakan keselamatannya.

Bunga Rumput Dalam Mazmur Bahagia

Bungaku
Bunga rumputku
Sukmaku
Sukma mazmurku

Segalanya ada etalase dan waktu
Karnanya sepanjang hidup manusia butuh oase
Sebab manusia selalu dahaga dan senantiasa mencari bahagia

Dalam dzikir kucari guru bahagia
Di hutan di kotakota sama saja bunga rumput di tanah
Jarijarinya menjalar berburu embun
Tapi mata bunganya menyalami kita betapa damainya
Dukakah mendamaikan kita
Sehingga manusia butuh ratapan

Segalanya memiliki entah dan mencari entah
Kerenanya sepanjang hidup manusia butuh cermin
Sebab manusia selalu retak
dan mengubah yang retak hingga mencapai entah

Bungaku
Bunga rumputku
Sukmaku
Sukma mazmurku

Sebuah pelor
Pelor sebuah
Celana color tua
lelaki tua
Tua keladi
Menjadi tua bejat
Tuan tuhan
Pelor itu
Jiwa tua rapuh
Oh bungaku terinjak
Mazmur darah
Bukan milikku
Mari kita lupakan ia untuk cinta

Jika aku bisa menghitung banyaknya bunga
Jika aku bisa merangkainya untuk dunia
oh betapa banyaknya keanekaan kemuliaan
Dari mazmurku hingga sejadah airmata pengharapan
Bungabunga itu tumbuh menjalar ke tangan sadakah nan darma
Ilahi yang meridho dalam adzan bungabunga itu
Memanggilmanggil dikau
Memanggilmanggil dikau
Melihat oh…betapa indahnya keindahan keanekaan warnawarni
Betapa indahnya keindahan keragaman ini
Bungabunga rumput di tanah
Bungabunga rumput di belukar
Bungabunga rumput di hutan
Menyulam pelangi keindahan dalam setiap ratap dan senyum
Hingga setiap orang bisa menyuntingnya ke jiwa cinta
Dan melupakan dunia tak berbelas kasihan
Yang senantiasa dibangun orang di luar sana
Orangorang pongah
Orangorang jumawa
Oh bunga rumput dalam mazmur bahagia ini
Berkudalah seribu jibril dan malaikat kebahagiaan
Datanglah ke tanah ratap dan hati duka ini
Dan duka mereka yang berharap bunga rumput menguncup
Biar sempurnalah mazmur ini bagi nyanyian muadzin
Ketika subu dan petang;

Bungaku
Bunga rumputku
Sukmaku
Sukma mazmurku

BUNGA ALANG-ALANG

alang terbang di bawah bulan
kelana angin musim tak terbaca
lewati ruang igau memenjang
di mana tanah humus menjanjikan?

suatu ketika, ia berjumpa serumpunnya
di sebuah padang
ia pun bertanya:
“apa gunanya gemulai menggapai angkasa
bila kau tak berjalan ke sana
yang mencari hingga ke batas siang
selalu punya fajar”

rumpun itu pun melepas anaknya sambil berkata :
“terbanglah ke benua-benua dan samudera-samudera
agar kamu bertemu langit dan tanahmu
telaga-telaga mengukir jejak
di bening matahari yang memelukmu pagi petang”

berjalanlah anak-anak itu dan dewasa di bawah langit
hingga tersusun nyanyian mega dan jejak sungai
dalam fajar dan suar memancar cahaya terakhir
memberkaskan isyarat nun tak jauh lagi

sebelum sampai di hitungan habis ia berucap sendiri :
“anak-anak baru harus pergi menembus abad
untuk dunia baru
di atas padang dan waktunya sendiri”

PIL SAKIT KEPALA

Ada jutaan pil sakit kepala
Berjalan-jalan di jalan-jalan utama kota
Pil-pil itu datang dari segala mata angin
Mereka membawakan spanduk dan yel-yel bertulisan
“kami barisan pil-pil sakit kepala, siap melayani semua pemimpin
bangsa”

kurang dari satu bulan, pil-pil itu telah lenyap dari jalanan

tinggal sebutir yang tergolek di pinggir drum kosong yang
kujumpai berkata:
“kawan-kawanku semuanya telah dimakan presiden,
karena dia yang paling sakit kepala saat ini.”

INDONESIA HARI INI

Mari kita mulai belajar
Membaca Indonesia
Terbalik

Aisenodni
Aisenodni
Aisenodni
Aisenodni
Aisenodni
Aisenodni
Aisenodni

Hari ini tiga ratus miliar
Dollar hutang dicatat lagi

Aisenodni
Adalah tumpukan ketakutan
Bom waktu di darah sejarah
Bab-bab kitab makian
Anak cucu

- mengapa menteri-menteri
kebanyakan tentara

petani itu menangis
di ladangnya
menunggu pengumuman bencana
nasional
dan menteri social cepat-cepat
bikin kupon-kupon penipuan simpatik
di layar kaca

aisenodni
gudang retorika mimpi
betapa sulit memebedahkan mana
koruptor dan mana pemimpin

telah berdiri di mana-mana
lembaga-lembaga organisasi
legitimator dewa-dewa pembangunan
tapi hari ini
mari kita mulai belajar
membaca Indonesia terbalik
dan menyadari
kemanakah sejarah kita ini
dibimbing


aisenodniku
seperti nama samaran Bandar ekstasi
yang tiada henti menjual muslihat
cerita perangsang kesenangan sementara
lalu di suatu hari
puluhan generasi kehilangan darah
di hisap hutang luar negeri

aisenodni
dengan lading investasi kemalangan
tersenyum-senyum hari ini
di televisi iklan-iklan
kebohongan itu
di sirkan tanpa malu-malu

aisenodni
rahim jutaan teknokrat
penakut dan cuma jadi germo
sementara jutaan rakyat
di peralat manuver kekuasaan
penumpukan kekayaan
mereka justru berkolusi dan
menyembah penguasa
bertahun-tahun MPR DPR meyakinkan
rakyat bahwa mereka
lembaga tertinggi negara
muara aspirasi dua ratus juta
pikiran dapat dipercaya
tapi ketika wakil-wakil rakyat itu
tertipu cincin kenangan
sadarlah mereka
dimana tangannya penuh luka
penyembelian kebenaran dan kejujuran
luka dari pembungkeman bicara
mengeluarkan pikiran
luka dari perampasan dan penggusuran
hak dan tanah rakyat
luka dari penyembunyian kebijakan
penguasa yang salah kaprah
luka dari pemangkasan harapan rakyat
yang membuat mereka berdasi, bermobil
berhandphone

maka marilah kita mulai belajar
membaca Indonesia terbalik
aisenodni
siapa lagi yang tak dapat di tipu
di negeri ini


aisenodni
aisenodni
aisenodni
aisenodni
aisenodni
aisenodni
aisenodni

marilah kita berpikir tujuh keliling
tentang konsep pembangunan bangsa ini
yang dicengkram nama-nama
yang tak menghabiskan hitungan
sepuluh jari

aisenodni-ku

inikah namanya pemerataan
jika tender triliun untuk nama
off the record
jika tender miliaran untuk anak menteri
jika tender ratusan juta untuk anak gubernur
jika tender puluhan juta untuk anak bupati
walikota
jika lebih kecil lagi untuk anak camat
maka jangan heran
kades-kades terbiasa makan duit
bandes
dan para kontraktor sering
di jerat masalah bestek, maklum
kontraktor kita biasanya
tangan kelima enam
dalam tradisi penjualan proyek

aisenodni-ku

negeri tercinta dengan kemegahan hutan
dan kebohongan
hari ini kembali perkabungan baru
tersenyum-senyum
enam belas bank dilikuidasi
ribuan deposan menitikkan air mata
siapa lagi yang dapat di percaya
banyak menteri omongannya salah
antar menteri berbantah-bantah
mulai urusan TKI dan Moneter

aisenodni
negeri siapakah dikau
bila harapan hidup rakyat
tinggal menggembel diluar negeri
kita telah berswasembada mimpi
rekening listrik, telepon dan air
kini tambang penggisapan keringat rakyat
guna menutup kebohongan menegement
teknokrat kita

aisenodni-ku saying
seniman-senima kita kini
gelagapan
mencari kata
ungkapan jiwa
yang tak sara dan subversif
maka menderaslah budaya banyolan
karya adi luhung system kekonyolan

inilah sarapan yang disantap
anakku setiap siang

PUISI-PUISI VALENTINE 2

LAGU SENJA 1

Andai hujan senja ini panjang
Kuingin berpayung matamu
Kerna keringat jiwaku bertahun lapuk membusuk
Pada rumah dan sujud yang payah
Sedang padamu berguguran sajak-sajakku
Pun di matamu bertebaran buih benih dewi laut
Lambaikan jemari asmara purba para dewa
Oh venus kaukah yang menjelmah pada putri desaku
Telah sirnah lolong-lolong anjing malam
Jiwaku kasmaran dengan bulan oh eros tembangkan lagu surga
Peluk aku dalam dansa
Tarikan lenggang cinta sedasyat ombak
Leburkan aku pada jiwa putri alam
Tubuh lelah, jiwa patah ini biarkan bermuara



LAGU SENJA 2

Sebutir sunyiku leleh diribaanmu
Tahukah kau putri alam
Setelah hujan senja itu
Mengental segala wangi dupa jiwaku
Tersedot panas bening matamu
Dan erangan derita jingga berguguran
Seperti daun-daun kering dihempas putting beliung
Tahukah kau putri alam

Tiga puluh tahun kembara berujung pada sangsi
Menyimpan gunung batu bertebing-tebing
Mengarung laut tanpa matahari
Tahukah kau
Setelah usai hujan senja itu
Kau laksana tiang dermaga memanggilku
Dalam lambaian yang bijak
Dan perahu nasibku bergerak dalam serpihan kabut-kabut

Telah kukenal cintaku pada sunyi
Tahun-tahun kubiar lalu lalang sendiri
Keisengan berganti dan lagi berganti membingkai kelam
Pun dalam sembayang jiwa melenguh teriris kesesalan
Pada rumah bumi kusimpuhi rahasia malam

Dan pada senja yang basah
Setelah kau maknakan bunyi suara alam
Sunyi-sunyiku leleh
Ujudku membayang serupa bayi baru dilahirkan
Tahukah kau
Cintaku larut dalam nafasmu



LAGU SENJA 3

Usai cerita dukamu
Hujan masih saja menitik penuhi kolam dukaku
Duka kita bersampah daun mangga
Berhanyut-hanyut di empang rumah
Begitu jenaka senja itu

Telah kukisahkan betapa cinta Gibran
Pada May Ziadah mereka yang bersentuhan dalam rahasia
Jiwa yang akrab
New York, Kairo berbunga asmara yang gaib
Oh Gibran oh May Ziadah telah lapuk segala jarak
Dan segala langit ternganga dalam nyanyian cintamu
Adakah lembingmu membunuh duka saudaramu
Agar benih bunga tumbuh merimbun
Setelah senja itu pupus
Dan lagamu adalah nyanyian kami
Dalam hari-hari penuh ruh

PUISI-PUISI VALENTINE

Aime itu Kau (8)


selalu kukatan aime itu kau
sebab sajak-sajak cintaku mencarimu
pada setiap serpih kabut
jedah dan jarak pun bukan kekhawatiran
karena ia bisa menyeberangi dunia
meski terasing dari norma pasal-pasal perisai manusia
ia memang mencari ruang bagi hatinya bermukim
Itu sebabnya kukatakan:
aime itu kau

datanglah padaku aimeku
datanglah kebilik hati menantimu
kau boleh memilih lagu kesukaanmu
mengiring perginya syair-syair pedih
karena aime itu
kau









Jedah Malam (7)

tiba-tiba aku ingin bertanya apa warna kamarmu
saat malam berkabar tubuhmu kau biar berselimut dingin
adakah kursih di ruang itu untukku
setiap kau buka mimpi perjalanan ke negeri teduh

aku selalu hanya sampai di ujung gang
(Seperti kemarin dan mungkin abad depan)
lalu kau lipat aku seperti surat-surat kerinduan hatimu
yang lalulalang di padang savana liar dan beku

burung malam di sini risau
dengan sebilah pedang ia menantang
lalu berusaha membunuhku

waktu bergerak pada weker pun tak berterima hadirku
sunyi menjengkelkan itu
membanting hatiku hingga cairannya berceceran
di celah-celah batu, dilindas kegelapan





Andai Boleh Berkirim
Surga Padamu (6)

sudah kukemas bertera namamu
meski alamatmu senantiasa terhapuskan hujan saban senja
tukang pos tak lagi lewat
tapi sudah kukemas
andai boleh berkirim surga padamu

andainya pula sampai, bukalah
putarlah seperti radio
surga itu akan bernyanyi-nyanyi tentang dahan, daun gugur
dan rindu mengisi mata kosong
atau berita-berita lain yang membuat lelaki itu tercecar

setiap jenak dari dalamnya
akan keluar malaikat-malaikat perkasa
menyusun cinta buat rumah duka
tanpa pelayat





l92585 Mimpi Seorang Boca (5)


itu kelana dunia hitam putih
tanpa jedah getir
meski raung angin menimbulkan gelombang
dan cabang catus tua rontok ke tanah
di gendongan cinta
siapakah yang bisa mengalahkan keindahannya





Dahan-Dahan Cemara (4)

ratusan kilometer baru aku sampai padanya
memandang dahan-dahan cemara bergetar
derai air kuala mengusik sepi batu-batu
suatu ketika aku akan membawamu ke sini
ke keindahan sunyi hutan hijau

kota itu bringas dan licin
ludah air mata bercecer sepanjang jalan
lurus menikung

aku akan membawamu keluar
seperti elang merantau
mencari negeri-negeri di mana hujan selalu turun

hinggaplah kita di dahan-dahan cemara itu
seperti malaikat natal
agar di bawahnya
anak-anak kita akan bertemu kado membahagiakan






Membaca Sunset Di Sepotong Hati (3)

aku melihat cinta sangat merah masuk ke hatimu
denyarnya di pantul matamu menjadi kedip bintang
dan cahya bulan
ketika lampu-pampu jalanan itu mulai nyala
impresimu kian nyata
kau
adalah
wajah
diselip Tuhan
Pada
setiap
doaku
pagi petang







Biduanita Sajak-Sajakku (2)

dalam sajak-sajaku engkau bernyanyi
dengan syair-syair membawa pergi hatiku
berlayar bersama cinta hinga ke negeri moksa
aku memandangmu dari bawah panggung tanpa kedip
sebagai pengagum aku mengidolai dikau

aku selalu mencari sebentuk senandung dalam desing keributan
karena aku ingin tetap menuliskan getar terindah dari suaramu
dalam kata-kata yang pendek aku berusaha klenengkan genta
mengiringi perjalanan hatiku kepadamu

jarakmu hanya beberapa hasta dari doaku
tapi aku selalu tak punya cukup langka menggapai dikau
berat oleh kepercumaan yang sia-sia dari silam tak kukenal
dalam sajak-sajakkulah kuhidupkan engkau
agar selalu kutemui dikau dalam denting lagu
yang selalu kau nyanyikan bagi pengantar perjalanan kematianku





Penyair Sang Cinta (1)


telah kurekatkan tanah retak itu
buat jalanan kata sampai pada cinta, pesan hujan
kepada penyair yang gelisah merangkai rindunya
di sejumlah huruf dalam imajinya

telah kupendarkan cahaya di lorong itu
buat syair bertemu salam hangatnya pada cinta, pesan bulan
kepada buat penyair yang teriris nestapa
berterbangan di atas kuburan kenangannya

telah kuwangikan segala impian itu
buat kekalkan baris-baris sajak asmara, pesan bunga
kepada penyair yang tercekat sepi
dipermainkan beku malam teramat suram

terima kasih atas cinta
meski adanya senantiasa di balik air mata, balas penyair
kepada hujan, bulan dan bunga yang gelisah teriris sepi
dalam masing-masing keindahannya tanpa kata

KALAU BINCANGKAN KEMAREN

Tak usah sebut Renoir, Timmy, Lukas, atau Nick
Kalau mereka bernama batu
Meski ruang penuh kelip itu masih menyisahkan musik
Bersama seribu nelayan memburu matahari
Carilah tasikmu
Sebab setiap manusia punya angin
Daun gugur dan musim
Burungburung bernyanyinyanyi
Menjemput melepas hari
Dalam rindu ke rindu s’lalu

Kerna reranting setia menyediakan titi bagi Nuri
Kelelawar, elang, dan segala yang ingin berdiri
Menegaklah selagi masih ada semangat
Memetik esok di antara segala kota
yang tiang penjurunya tertanam di jiwamu
Kita memang penumpang bagasi ketika senja
Mendengar deru dan lagu samar
Tapi sebentar, setiap orang selalu punya tujuan
Untuk mandi atau mencuci muka
“manusia memang selalu penat entah oleh apa,
dan kita mesti menamainya”
Apakah aku dapat menciummu?
Seperti anak-anak menyirami kecamba
Hingga sebelum ajal mampir di mimpi
muncul kelopak, dan bayang-bayang bunga
sebab yang kemaren itu selalu sejarah
buku-buku tua di museum
hanya untuk pengelana tak kenal rimba
Beristirah bukan berarti berhenti
Selagi ingin, kau boleh mampir
Di negeri mana kakimu pergi

DARI SNDULANG SAMPE MALALAYANG

Dari Sindulang sampe Malalayang
Yang kita inga adalah pante
Nona nonas manis lari rupa burung
Dan basambunyi di pohong bahu
Kita di sana sebelum laut pamerenta ambe dari rayat
Jadi boulevard
Jadi milik saudagar cina
Oto-oto mewah lewat
Rakyat kacili di mana dorang pe tampa

Dari Sindulang sampe Malalayang
Yang kita inga adalah cinta
Nona manis nyong pranggang baku gandeng
Rupa peri di cerita dongeng
Manari cakalele
Batunggu masanae bawa ikang dalam sope
Kita di sana sebelum laut pamarenta ambe dari rayat
Jadi hotel, supermarket, diskotik dengan saribu maksiat
Yang cuma kase sanang orang kaya
Rakyat kecil dimana dorang pe tampa

Dari Sindulang sampe Malalayang
Yang kita inga adalah tandusang
Anak-anak bamaeng bola siapa kalah bapompa
Dan kalo so malang
Helahaluang babunyi
Lampu kana pasang di paser
Opa beji batiki pinggang
Soma dampar pasang belo
Nonanona manis lari di paser
Bitis putih muka endo
Kalo kaweng pasti sewa musik Tanawangko
Manari kratrili deng badansa volka
Hingga hari so ba pokapoka
Pulang sanang kong gandeng cewe orang Sindulang
Kita di sana sebelum laut pamerenta ambe dari rayat
Dan sekarang torang sama-sama lupa
Kalau dari Sindulang sampe Malalayang bukan lagi
Torang punya.

BANDAR MANADO

Bandar itu dibangun tahun 1850, buruh belian keluar masuk hutan
Tuan Belanda menjaga dengan rotan
Keringat dan air mata tergambar di pinggir selatan
Menjadi cerita tanah air amat dalam

Lebih seabad kemudian engkau datang
Harusnya angin bawakan engkau kenangan
Yang ada terik di pintu bandar dan kabut mengapur seantero kota
kapal-kapal dan perahu mengabar lapar di pinggir masjid dan gereja

Tiang kayu dan embun pagi telah menguap menjadi rentah
isyaratkan azab pada layar duka, sujud penuh luka
di aras pintu bandar hingga kepinggir kota cinta tak lagi berjejak
menguning di pucuk rumput terjepit kakikaki menginjaknya

telah bertahun, berabad, mungkin bermilenia
engkau lupa hari dan tanggal berapa engkau pernah mendekapnya
dan menciumnya di bawah dahan cemara
dan matanya menjadi pelangi menikung dalam doa

engkau memang lupa kerna ia pergi
dibawah kapal-kapal ke bandar yang lain
Cuma kecemasan tinggal di buih mengelepar di bandar ini
seperti penjaga blengko ditinggal pergi pesembunyi

Eri katamu, mengapa kau lipat sunyi di tepi mimpi
Di emper berbauh tengik kunang-kunang tinggal satu dua
menyeringai malam kota nan ramai
tapi kau tak bersuara lagi bisu oleh halilintar di pesisir sangsai

engkau berkata-kata pada airmata membekas di tirai malam
Ketika engkau mencarinya di pucuk rumput atau di kaki abad
Eri katamu, seharusnya kau kembali mencintai pelangi
biar bandar ini ada jejak yang setia memintal cahya menjadi abadi

Sabtu, 06 Februari 2010

MARAH

kegersangan Putrajaya
menyergap langsung
sanubari panas seketika

hembusan AC dalam bus
menjadi kartu mati
tak berarti lagi

“Brapa banyak pejuangmu tewas?
Tak seorang pun di pihak kami,
Waktu zaman perjuangan…..
Kerana kita pake lobi, pake otak”
itu katamu

“Banyak pejuang kami tewas.
Karena kami berjuang merebut,
Bukan menerima kemerdekaan itu.
Kita berperang bukan minta-minta”
Hampir kuteriaki ia

untunglah dunia kita beda,
dan aku pun sadar…kita sama
ada kebanggan berbinar, berpijar
terhadap negri kita masing-masing.

CAPLOK

menyebar segera kesedihanku
lihat barang-barang milikku,
juga milik semua orang bangsaku
telah dicap dengan stempel
yang tak pernah aku kenal

sedihku bertambah panjang
melihat mereka lebih bisa
menjaga barang-barang milikku,
juga milik semua orang bangsaku
dalam ketelatenan mereka

dan kini…
sedihku semakin hilang rasa
ketika semuanya dibiarkan
oleh bangsaku sendiri
di depan mataku sendiri.

SEBUAH MALAM

malam merapat cepat
dalam gegas kota mereka
bukan kotaku, juga kotamu

kulitmu silaukan mata
berbalut senyum sidikmu
mata awas pekurkan diri

menyapu ruangan seketika
sambut rapat hangatmu
dalam ringkih kesepianmu

sebuah tanya yang terjawab
diakhiri formalitas:
“Are you OK?”

MENANTI

dingin genting highland menyapaku
sejuk udara pegunungan menyambutku
kenang sekejutan subuh kuala lumpur
besok panas melaka kan menyambutmu,
ucap Paul… pria malaysia itu

galau hatiku dalam keheningan
sepandangan menara kembar petronas
ganggu khayalku akan sosok dirimu

lusa, di woodland checkpoint
dirimu pasti kan menungguku tiba
sambil mengerinyitkan keningmu
pasti kau kan bertanya
mengapa baru sekarang aku datang…..

SEBUAH LAGU HAMPIR KULUPA (1)

di Café Mart yang luas, cinta adalah kehidupanmu; katamu
aku mendengar nyanyian hati pada denting piano
gaunmu berwarna pink dan matamu pelangi
aku selalu tak menghafal tanggal dan hari itu
kecuali isyarat laut di balik jendela tentang rahasia
bahwa kita senantiasa punya saat melayari waktu
di ruang itu,
ketika kesibukan lalulalang dengan kegentingannya sendiri
kau kidungkan lagu hampir kulupa
syair yang tepikan aku dari riwayat silam dan nestapa panjang
jiwaku pun kangen ziarahi segala yang indah dari cinta
padahal kegembiraan tak lagi tergambar
bagaimana ujud bayangannya
kuburannya pun telah lama tak kusinggahi
bunga-bunga yang kusiapkan sudah mengering
dan kali muaranya di hatiku sudah menikung ke ujung lain
tapi pada reffrain lagu itu kau nyanyikan bait hidupku
laut luas dan pelayaran menantang pertarungan baru
lelaki yang dulu tak pernah dikalahkan waktu
cukup lama kutelusuri makna hati lagumu
di denting akhir piano sunyi kembali mengepungku
penanda tanggal dan hari akan berlalu
yang detiknya mulai menjentikan luka ke hatiku

DARI PENYAIR BUAT CINDERELA

banyak orang menyebut aku penyair. padahal aku tak punya
kata untuk meyakinkan dan mempertahakan dia. aku bertemu
dia dalam metafora tanpa kata. ia pun terlalu mulia bila kuperangkap
dalam imaji sebuah karya. hujan telah mengabadikan irama
kesedihannya dalam hatiku setiap kali ingin kuraih bayangnya
yang senantiasa lenyap seperti fatamorgana. tapi aku tak pernah
berhenti mencari dia di jalanan itu hingga pada sebuah etalase
di tepi mimpi. di sana moga aku bisa memeluknya
meski tak bisa memilikinya.

banyak orang menyebut aku penyair. dalam puisiku dunia bisa
semata sayap kata dari bagian suatu bait. tapi aku tak punya
sebaris larik buat meraihnya kecuali perih menyayat dalam
stanza-stanza sedih

banyak orang menyebut aku penyair. tapi aku hanya punya sedikit
memori dari segala yang banyak aku ketahui. cintanya memberi
pandangan lebih luas dari segala yang sedikit aku pelajari. dan Tuhan
selalu punya sepasang manusia buat dipertemu dalam ayat-ayat pedih

dalam cintanya telah dirangkainya air mata yang di suatu malam
pedihnya mengemas hatiku pada sebuah kotak hampa udara.
seperti ikan aku berenang ke dasar samudera pedih itu. menyusur
palung senyap dalam gigil beku. di atasnya kapal-kapal menderu.
burung-burung mengangkasa dalam migrasi ke negeri jauh. aku tak
punya sayap mengejarnya. kecuali melambai meski ia tak menoleh
sedikitpun

banyak orang menyebut aku penyair. tapi aku tak punya sajak yang
bisa menjaga agar aku tak terdampar di pantai hidupku yang hanya
bisa mengabadikan nyanyian angina. aku pun tak punya sepotong
syair untuknya. kecuali kata-kata yang berderet mengaguminya
tanpa henti hingga hening menidurkan ribuan mimpi

DAUN-DAUN PUN RONTOK DI REINBECK

bilamana kau datang dalam hujan
indah kemarin berubah kenangan
bola mata, senyuman, permukaan tanah
nisan –nisan itu memanggil dan kita merindukannya

kalau daun-daun pun rontok di hutan senyap Reinbeck
karena musim ingin berdamai bagi yang datang
tak ada abadi dalam sejarah kecuali kenangan
sebab matahari bukan cuma untuk pagi terlewatkan

yang pergi membusuk dalam tanah meski tanpa benci
yang hidup bergerak ke depan
kecuali berpaling untuk salam
seperti weker memutar waktu ke angka tak habis-habisnya
terlindas train Frankfurt Amsterdam
hingga ke kota kecil yang landscape-nya pada sebuah hati
yang terus memupuk rindu buat sebuah abad tak pasti

NEGERI- NEGERI ASING

di Reinbeck hujan tak deras di rambutmu
ketika kau kibarkan kenangan kota kecil
tentang cinta menantimu
konsermu pasti indah di Pauli
stansa-stansa mengalir dalam lirik lantai pirus
santa santu mengabarku di rinai gerimis

tapi cerita itu selalu asing
negeri-negeri jauh hanya mendongengkan savanah
dimana King Arthur mengacungkan pedang
menebas rinduku di depan bayang kucintai

derailah malam-malam sungsang air mata
aku di seberang negeri asing
menggelepar dalam dentingan piano dan gesekan selo
tak bisa menangkapmu pergi seperti merpati

dikau dan aku bisa dongengan itu
atau mungkin aime menangiskan mite
sebuah buku dibaca hening
pada suatu malam sparta yang kosong
dan engkau terus melangkah menuju Berlin
bersembunyi di balik tembok
yang sesungguhnya telah runtuh

YANG AWAL

di atas kota tua yang meratap
ketika kelelawarkelelawar sesat
di pinggir pagi merentang sayap cahaya
aku terus berjalan
menembus kegelapan berikutnya
dan pagi esoknya… mencarimu

beribu bayangan aneh melintas
berlalu, meberkaskan senyap
jalanjalan sepi pohon tak bergerak
unggas satwa hutan tak bertemu aku
dalam keriuhan puisi hampa
karena cinta sajalah mata air itu

di sini atau di sana
mengapung di entah
di manapun berada Ia
manusia selalu saja ingin ke sana
di keindahanNya
catatan keabadian berada

ETALASE PANTAI SEGELAS LEMON

jalanan memanjang lima kilometer
menyimpan bayang kerinduan
di tepinya pantai melambai-lambai
memanggil hujan di tepi mata

aku menyesap segelas lemon dalam etalase berisi kita
perjamuan perkawinan batin terseret dari ujung jalan
hingga ke tepi landai
gunung-gunung mengepung di balik wajah
kawan-kawan menatap tanpa kedip
mungkin meneguhkan sekaligus mengutuk
tapi kita memilih duduk sebagai pengantin
saat pelangi menikung di barat
anak-anak hujan mengabar air mata

seperti syair balada kita pun cakapkan getar hati
mata jauh menatap ke landai laut
ke segala bilik tersayat
luka-luka itu kita jahit bersama

dua jam hati kita menggelegak mendebur
ombak itu datang dari pikiran beku
menghantam batu hitam
yang diam-diam kita susun jadi rumah
dan kita sepakat memilih diam di dalamnya
meski dalam beberapa putaran detik, jam dan zaman
badai bisa datang menguji kesetiaan yang kita rentang

MANADO BREMEN

Engkau pergi dengan trem senja
bersama kenangan di kening ombak
terseret kereta cepat lewati Hanover
beku dalam dingin John Strasse

bau salju bersalam: selamat pagi buatku
angin nepikan rindu di akar laut
cengkramahi jejak arus letih
mengziarahi dunia dan benua

adakah jawaban di Oldenburg buat prasangka
kecuali mencintai dan meraihnya meski pedih?

di Warpelough, embun merembes di pucuk bunga
bagi getir matahari yang tiba esoknya
di lintasan jalanan Kassel
hingga kota-kota di depannya

oh baiklah…
hati selalu mencari dan menguji
meski Tuhan sejak awal punya setumpuk kata
disalamkan hati selalu berasal dariNya
tapi kita harus mengejarnya di tepi sepi
yang selalu tanpa batas

ENSIKLOPEDIA PERASAAN

yang kemah dalam jiwaku dikau
yang liar dalam pikiranku dikau
yang bernyanyi dalam hatiku dikau
yang mengalir dalam darahku dikau
yang berkelana dalam kenanganku dikau
yang tergambar dalam anganku dikau
yang menuntun langkahku dikau

dikau bergerak dari kaki hingga ubun
menjadi kekuatan roh hidupku
menerbangkan hatiku
dengan sayap-sayap cinta maha sempurna
siang malam menjadi rindu dikau

mimpi dikau
nafas dikau
doa dikau
lagu dikau
puisi dikau
lakon dikau
duapuluhempatjam dikau

dikau dalam aku
buku tebal tanpa jedah dan selalu kubaca

PELUKAN ETALASE GEDUNG TEATER

hanya ada satu kursi buat kita duduk
kau memelukku
tanpa sepatah kata pun
percakapan kita keributan hati
saling memberi hening
pertunjukkan belum lama di mulai
tapi kita tak peduli episode awal
buat mengejar yang dirindu
kita tak butuh penonton tepuk sorai
ketika matamu lindapkan keindahan penuh

kita telah memilih panggung kita sendiri
memainkan apa diinginkan hati
di etalase gedung teater ketika hujan
menggugurkan pedih
tanpa narasi prolog dan epilog
tanpa alur, komposisi, dan konvensi
kecuali sebuah rekonstruksi gerak batin
memburu cinta sejati

kita di sana dalam beberapa menit yang indah
tanpa kata selain hening

WARNA DALAM NATAL

Ada yang bertanya kemana kita pergi
Bila saatnya nafas berhenti
Apakah lenyap tak punya arti

Ada yang bertanya apa gunanya dunia ini
Bila di bawah langit tak ada yang abadi
Apakah sirna seperti embun pagi

Kau mau jawabnya? datang pada Yesus
Surga kekal disiapkanNya untukmu
Lepaskan ragu, kuatkan imanmu
Percaya Yesus Tuhan juru selamatmu
Maka hidup ini berarti bagimu

Selamat Natal Semua, Yesus tlah datang di hatimu
Selamat Natal dunia,hari terindah telah tiba

Bagaikan sayap warna kehidupan
Pedih dan tawa adalah anugerahNya
Dari gubuk hingga istana
Yesus datang bagi damaiNya

Bukalah hatimu, sambutlah Dia
buatlah hidupmu bersinar kasihNya
Carilah yang hilang hapus air matanya
Karena Yesus lahir bagaikan cinta
buat dunia yang dikasihiNya

Doa terindah diapit awan
Menuju surga istanah kemuliaan
Kau kan dijawabNya, kau kan dipelukNya
Seperti domba hilang ditemukan

Lihatlah bunga mekar mewangi
Bintang mengedip malam berseri
Fajar merekah kemilaukan pagi
Semua dipeliharaNya, semua dijagaNya
Dengan kasihNya.

Selamat Natal Semua, Yesus tlah datang di hatimu
Selamat Natal dunia, hari terindah telah tiba
Bahagia bersama Tuhan
Dalam sayap warna kehidupan

KABAR DARI HUJAN

kabar itu dinanti putaranputaran musim
rumput sawah menguning dalam becek mendidih
menguap ke sumsum dusun dimana hati kita berdiri
kita di sana memandang tuas awan berputar mendekap gerimis
tapi tak ada keraguan menanti hujan turun di jalanan keras itu
meski debu beterbangan mengaburkan jejak semi di kilap embun
kita berharap memandang derai pohon tersenyum di setiap tetes air
di mana langit mengabulkan temu mereka yang merindu
andai tukang pos membawa kabar itu dalam sepucuk surat
kita tak perlu lagi saling menelpon mengatakan resah
sebab hujan memang selalu ada meski musim yang ini gersang
hanya kita perlu menanti dengan sedikit tabah
putaran lakon waktu berikutnya

DI DEPAN BALAI KAUKAH ITU

di depan balai
ketika batu-batu bergerisik
aku selalu berujar, kaukah itu?

sekali
berkali-kali
mungkin abadi
aku menanti bayanganmu di sana
lalu kita pergi mengziarahi abad tak bernama
bercumbu di tepi sambil menghitung perahu
datang pergi di bilik hati
kemudian hening

kadang kucari engkau dalam sejumput bayang
berlalu lalang di jalanan
dari petang hingga malam
tapi kabar kudapat
kau berada di suatu abad

aku berdiri di depan balai itu sebagai laki-laki
lelaki tua oleh rindu
menghitam dalam waktu dan jarak
tetapi s’lalu terilhami dirimu
datang dalam gerisik batu-batu
aku kembali berujar, kaukah itu?

betapa kangen ini serupa magma
meledak didasar bumi
melemparkan asap ke gemawan
yang di esok hari moga menjadi hujan
di kolam tempat kau membasuh diri

DUKA DALAM SEPIRING BAKSO

dalam sepiring bakso dukamu menggelinding
di antara merah merica mengisyaratkan perih
saat itu malam turun di Sunset Café yang masih sepi
aku di sana mendengar cerita cinta yang getir
dan nafasmu tak mampu menepis penyesalan
akupun mengunya sebutir demi sebutir catatan silam
dalam gigitan pedih demi pedih

tak ada angin ketika itu
sebab perasaan kita sama-sama melepuh
dan air mata meledak dalam jiwa seperti granat
tinggal puing-puing dari reruntuhan hati tersisa
diam-diam mulai dihanyukan arus
entah ke pantai mana

tapi aku harus menghabiskannya
sebelum pelayan menagih bayaran
pada setiap pesanan juga perasaan kita

KONSER KITA (3)

kita telah memilih nada dasar
pada dawai pengiring kidung terpilih
menulis partitur yang pas buat harmoni tersendiri
karena manusia sebaiknya belajar
segala lekuk masing-masing parasaan
agar luka tak selalu bermakna perih

hidup bukan musik yang datar
kita butuh aransemen yang lebih manis
buat takjub-takjub mendekat mendekap kita

tanpa itu,
musik kita nyanyian kering
berlirik duka

KONSER KEMATIAN CINTA (2)

gelap maha gelap
samar maha samar
kenangan adalah pedang terhunus
air mata kelam mengirimkan pedih
dari sayatan hati tanpa perih
langit mengecil terbang lenyap
tak ada cahaya di atas
kabut tanpa batas

tanah lembek goyah
mengamblas pikiran
ditiup angin serupa debu
menggelinding
ke negeri-negeri beku

KONSER KELAHIRAN CINTA (1)

kecermelangan di atas kecemerlangan
bergerak dalam bening air mata embun di atas embun
mendesah senandung damainya senandung
menerbangkan hati menggapai terangnya matahari
terang maha cahaya indah bunga dan mimpi
kabut menyusupkan simphonynya desir maha desir

tanah menjadi gembur subur
buat cita-cita tumbuh
kita pun tertegun
angin mengirimkan nada melangkoli
berhembus
membawakan wangi pada makna senyum juga tangis

Surat Buat: Embun

Pernahkah engkau mengalami cinta dan kepedihan mengalir
dalam deras sungai perasaan hati yang sama. Dengan perasaan
semacam itu dapatkan kita memaknai hakikat keindahan atau
kegetiran, semisal dalam lagu-lagu Celine yang penuh harapan,
atau sayatan luka nan pedih dari keterhilangan panjang yang
mendedah jiwa dalam sajak-sajak Pascal Riou.
Manusia memang selalu angkuh dan sombong.
Setiap pagi mandi,
menyisir rambut kemudian mengenakan stelan yang gagah.
Padahal, kita senantiasa tak mampu dan tak kuasa membunuh
kebenaran yang dituntut hati nurani.
Pertempuran sengit itu setiap
detik berkobar dalam diri kita, tapi kita berusaha tersenyum
cuma karena alasan: agar kita tak terkucil dan terasing dari gerombolan
masyarakat moral. Sementara dalam senyuman kita itu dengan
deras yang sama, air mata kita mengalir dari mata air kejujuran
yang senantiasa merembes dari hati nurani kita yang tersuci.
Dengan sajak-sajakku, aku ingin keluar dari
kerangkeng hukuman tanpa ampun itu. Aku memilih terus berjalan
dan berkelana meski
yang kulintasi adalah jalanan senyap, dingin dan
membekukan. Aku
tak meminta belaskasihan untuk pilihan yang menyedihkan ini.
Aku ingin berkata dalam seribu sajak bahwa
aku berikhtiar bertemu
cinta. Karena ikhtiar ini, aku yakin
akan bertemu dengan sejumlah
kekonyolan, rasa sakit, resah, kebencian yang terus-menerus
melindasku berkali-kali. Tapi aku harus pergi pada cinta.
Hanya pada cinta, kepedihan itu tertepikan.

***
Sudah lama aku tidak percaya pada senyuman,
atau tingkah baik dan belas kasihan.
Semua kepalsuan itu bukan untuk aku.
Cinta bukan urusan keindahan tubuh, usia, dan pikatan
birahi. Cinta adalah perasaan yang senyawa. Cinta tidak buta.
Cinta memiliki mata hati yang lebih terang dari semua omong kosong dan kepalsuan seorang Don Juan. Jika aku
terbunuh, iapun terbunuh. Cinta tidak pernah berkhianat.
Dengan sajak aku memuja dan marah, mendambah dan resah untuknya.
Dengan seribu sajak kurasa belum cukup untuk memancang
tiang keyakinan yang utuh bagi rumah buat cinta bernaung.
Aku selalu pedih dan menggigil ketakutan karena semua itu.
Tapi,
aku pun selalu yakin bahwa cinta itu ada.
Betapun panjangnya lorong kelam itu, aku tetap akan ke sana
untuk bertemu dia.
Setidaknya aku bisa mati dalam siraman air matanya.
Dan,
Jika kamu merasa bukan sang cinta pergilah, begitu kataku pada setiap orang yang memandang cinta semata permainan. Sebab orang semacam itu, hidupnya betapa menyedihkan dibanding segala kesedihan.

***
Kebanyakan orang hidup dalam topeng. Ia menyembunyikan dirinya yang diderah habis-habisan oleh kepedihan yang sangat ia sadari. Ia membiarkan dirinya terkungkung dan dipasung oleh kemunafikannya sendiri hingga akhirnya ia tak mengenali samasekali dirinya. Ia telah mati.
Aku tak ingin mati dalam kesia-siaan semacam itu. Aku ingin mati dalam kesadaran penuh tentang kematian itu.
Dan aku akan lebih pasrah kehilangan segala daripada kehilangan cinta. Hanya cinta yang bisa membuat kita bertemu dengan kesadaran penuh. Bagiku, mati bersama cinta adalah pesona terindah bagi seorang anak manusia.

Manado, Dini hari, 19 Januari 2010
salam
SASTRA CINTA

LL685 DALAM CAHAYA LILIN

malam turun di Horison
dan aku menyalakan lilin buat hatimu
kerena di hatiku empatpuluhdua megawatt cintaku bersinar
menepihkan kelam malam dalam cermin
yang memantulkan wajah kita

aku tak pernah ragu, dan tak akan pernah
berhenti mencintaimu
kemanapun hatiku, setialah ia mendekap dikau
entah dalam repertoar atau teks melangkoli
tapi lakon ini sungguh
empatpuluhdua megawatt cintaku membakar ragu
dan kita telah di sini dalam cahaya sempurna
cahaya maha cahaya
yang membersitkan sinar maha sinar
berpeluk dalam cinta maha cinta
biar hari-hari berikutnya
yang terindah ini mengirimi kita
sepotong catatan kesetiaan
tanpa kemunafikan

PAGI KEDUA YANG INDAH

berpuluh-puluh syair siapa pemiliknya
bila cinta bukan milik kita
berkisahlah engkau tentang Celine Dion
wanita meratap dalam cinta sejatinya
keajaiban dipertemu hanya satu-satunya

dari beribu kelokan, beribu kengerian
tak ada yang bisa menghentikannya
dan engkau datang di hari berikutnya
dengan binar mata dari cahaya matahari
terang yang tak pernah mendustakan warna
dimana yang dipanggil cinta adalah kita
kita pun bertemu seperti sebuah sketsa
dari malam menuju pagi kedua

semalaman kau menyanyikan syair Celine
dalam denting bahagia sekaligus pedih
bunga catus tua menjejarkan cabangnya dalam angkuh
hatiku melolong cintaku
disayat mulia hatimu

lalu pagi pun datang dalam lembaran puisi
puisi ditulis hati dengan cara yang kita sendiri tak mengerti
tapi tiba-tiba kita sama seperti Gibran mengatakan: memahami
dimana cinta memang hanya untuk cinta itu sendiri

SETELAH MENJABAT TANGANMU

setelah menjabat tangamu
mungkinkah narwastu sewangi hati mencintai
dari pintu kita memandang penat jalanan
mobil-mobil pergi memburu sesuatu yang tak kita ketahui
karena yang kita ketahui semata yang kita ingini

Zaman bisa saja berubah
peristiwa bisa saja berganti
sejarah hanya bisa mencatatnya
yang selalu kita mulai biarlah yang terindah
karena nabi dan para rasul pun tak membenci
meski bunga dan narwastu datangnya dari pelacur
yang terindah memang selalu baru
dan aku selalu ingin menjabat tanganmu
menjabat tanganmu
meski tinggal di ujung waktu

AKU PUN BERTEMU

eskalator seperti juga zaman punya awal
yang pergi bisa saja datang kembali
gaun dikenakan pasti tak seperti kemarin
kecuali renungan kita tentang yang abadi
akupun bertemu
tidak lagi di halte atau pada sebuah bus
meski kenangan selalulah istimewa
masa kanak-kanak yang itu terasa dewasa
rambut dulu menepihkan dukaku
kini mengibarkan jiwaku
aku memang bertemu apa diinginkan hatiku

siang selalu seperti anak nakal
selalu nakal
mengawinkan dua abad
menyatukan sia dan yang terindah
entah puisi atau elegi
iklaslah kita membiarkannya bergerak
entah di jalanan atau derasnya sungai
terpenting sampailah kita di yang diinginkan hati

akupun bertemu
membaca denting hatiku sendiri:
tak ada yang pernah pergi
karena indah itu abadi

DI TEPI GETIR

“laiknya sungai,
hidup pun punya kelokan
batubatu licin tebing curam
setiap orang senantiasa melewatinya
bila ingin sampai ke muara
entah dengan air mata atau sepercik nestapa,” kataku
kau senyum dalam perasaan penuh air mata

“laiknya laut,
cinta pun punya gelombang
angin badai
setiap orang senantiasa melewatinya
bila ingin sampai ke pulau tujuan
entah dengan luka dan duka menguncang,” kataku
kau menunduk dalam potongan hati tersayat

“seperti sungai dan laut
cinta dan kehidupan pun butuh keberanian
tanpa itu orang tak pernah sampai pada keindahan
yang selalu berada di tepi getirnya,” kataku
kau menatapku dengan kepedihan tanpa makna

akupun diam.
cinta tak butuh kata-kata, katamu
selain mencintainya dengan cinta semata
tanpa penyesalan tanpa air mata
akupun diam

BUNGA KENANGAN

apa yang kau gapai
dalam kenangan tentang setangkai bunga
ketika senja mengiris denting malam
di selokan air mata embun

ia telah mengering
kelopak bisu hanya mengisahkan luka
kau mendongak
memandang kekosongan luruh jatuh

kita pernah menanamnya menjadi hutan
pada sebuah taman
dan kau membuangnya dalam perjalan menuju Berlin
hingga langit di bawah dan di atasnya berkabung

kita tak lagi punya taman
buat hati menggesekkan nada di dawai angin
selain gempa mengguruh
di setiap lempengan hati mengapung
berlari meraih serpihan gelap
tak berkisah apa-apa

KAU PANGGIL AKU AIME

kau panggil aku aime
mengeja l’espoir
bibir tak getar
karena hatimu tenang

kabung langit pergi ke pucuk angin
lewat malam
saat itu: aku membaca gelisah Pascal Riou
tentang: in memoriam Nadia Collomb
berjalan gontai atas sayap-sayap sajak
untuk bertemu dikau

moga kita tak bersua larik-larik perih:
(revant donc a nos vies passantes entre I’adieu et le matin)
berpisah itu selalulah pedih

senja menukik di jalan kau lewati
katamu indah, teman-teman mengerti
kau panggil lagi aku aime
kususur beberapa bait
(pesant a tout passage)
berharap tak ada catatan in memoriam
di segala yang kita rentas
meski mart, Boulevard, pohon catus tua angkuh
tinggal kenangan di abad lain

DI SANSET KITA BERCAKAP DENGAN KABUT

Dalam gelas nescafe kau tersenyum
Di balik kaca langit berkabut
Kita bercakap dengan kabut
Satu dua jatuh di gelas itu
Lainnya menjadi embun di rambutmu

Jiwaku berkelana kerambutmu
Memanjati usia
Teramat lembut tanganmu menyambut dan memeluku
Setelah kuhirup kopi itu
Aku menjadi hidup dan muda
Masa silam meleleh menjadi masa kini
Orangorang yang merdeka atas waktu

Beberapa tamu memandang kita seperti lukisan Vincent
Kita tak peduli
Musik belum dimainkan dan syairsyair masih sunyi
Kita tak peduli
Kerna kita telah menjadi diri sendiri
Ketika kau bimbing aku ke tasik mendengar ombak
Kawan-kawan menilpon dan berlalu
Dan kita memilih di sini
Dan selalu di sini

MEJA MART DEKAT KACA JENDELA (2)

duduk di meja Mart dekat kaca jendela
bukan lagi sekadar memandang laut
atau menangkap isyarat ombak
mendebam di detak jantung
tapi buat melepas rindu
kerena rindu memenatkan kita
dengan percakapan hati tak pernah selesai
mendedah melumat tanpa henti-henti

di sana kita bisa menyesap jus lemon atau mentimun kesukaan
menyanyikan kidung dengan reffrain yang agung
biar cinta tak semata bayang di jalanan tanpa tuan
seperti kau tinggalkan pada tujuh atau delapan kenangan
biarlah serupa keramaian Mart
setidaknya kita punya saat membagi keluh dan senang

dan aku berharap meja itu selalu di sana
beberapa saat lagi sebisanya abadi
buat nepihkan duka
atau tempat ziarah bagi kenangan indah
yang mungkin sebentar diantar eskalator menuju jalanan
jalanan yang selalu menyiapkan kelokan ke banyak tujuan

SETELAH LAKON PERTAMA

kau mencuci rambut
mencuci duka lakon itu
meski gincu masih bekaskan darah
di antara kening dan jidat
karena derita tak pernah pergi
ketika kita ingin meraih harapan

dering telpon masih menggemah
percakapan masih riuh dalam jiwa
membaca balada setiap langkah
saat matamu memar mendekab jiwaku
yang liar
kita pun menepi ke sudut ruang
mendengar detak dada
ejakan kata entah bermakna apa
tiba-tiba kita sama katakan itu cinta
sambil berjanji takkan ada lambaian tangan
agar bus terakhir hanya kita penumpangnya

saat senja naik
kita berpisah di lobi
gincu yang membekaskan darah
di antara kening dan jidat itu
meninggalkan perih di ruang hatiku
laksana kibaran gaun hitam ditiup angin
ketika kau melintas menuju ramai jalanan
jalanan yang selalu saja menyiapkan kelokan
untuk kau memilih tujuan

Epigram Cinta Melindap (buat EMBUN)

Epigram Cinta Melindap
(buat EMBUN)

1
Tak ada istanah
Rumah bunga
Kecuali kaki langit
dimana kubangun sebilik ruang kangenku
Di bilik itu, langit mengalas beludru awan
mengedipkan segala cahya
Gemawan dan cahya purba segala harapan
Buat hatimu senantiasa bergeriap
Dan rambutmu berselimut

Di sana aku menjaga, sekaligus meratap
Bersama usia terus merambat
Menjandi pohon yang daun-daunnya mulai gugur
Kerna tangan dan cintaku tak mungkin menyentuh
dikau
Selain jiwaku terus membayangkan kesia-siaan

Cintaku moga kau tidur di kangenku
Sehari dan mungkin selamanya
Seabadi pertama kamu tersenyum

2
Memang hanya seketika
Cintaku melindap engkau dengan indah
bayangan itu mengukir jejak
serupa matahari menandai waktu
Entah kemana ia menyeret hatiku

Tapi aku bergerak memburu
Sebelum tanjung-tanjung padamkan suar
Dan isyarat terhapus dari gang
Biar lambaimu senantiasa kukenang
Cintaku engkau milik sebuah abad

Lalu kepadamu, kepada isyarat hatimu
kusimpan di kamar kangenku
Di tengah bunga pengalaman-pengalaman abadi
Yang setiap pagi kusirami rindu
yang wanginya memberkas kemimpi-mimpi

3
Seperti burung-burung pagi
Cintaku hinggapterbang dari reranting kepucuk-pucuk
Dan aku setia memandangi tempat persinggahan itu
Semoga suatu ketika kutemukan siulan namaku
Dinyanyikan Cintaku dengan merdu
Dengan rindu
Dan simfony itu kembali kubawah ke bilik kangenku
Hingga di bilik itu segala jejakmu menguatkan doaku
Doa dari magma hati
Lelaki yang terluka
Merindu


4
Senja senantiasa merindukan malam
Dan malam mengimpikan fajar pagi
Dan aku pun menanti
Senantiasa menanti yang kurindu
Terlalu sempurna yang kurindu
Tapi aku mesti ke situ
Kerna cuma di situ hatiku hidup

Kernanya, kurindu dikau Cintaku
Malam yang sempurna
Dan siang yang cerah
Aku telah capek menipu rasaku
Seperti tanah dimana lalang dan gandum
Berampasan haru

Sungguh aku gerah tersenyum pada kebohongan
Pada menit-menit yang memaksa aku menebas kebencian
Seumur-umur aku berdusta seakan gembira
Kendati nestapa mengunung dan keluh melebat

Aku mau keluar dari sana Cintaku
Lalu datang padamu
Meski engkau tak menyiapkan pintu
Setidaknya aku bisa mengetuk dari rindu

5
Malam selalu sunyi dan gelap
Hanya dikau Cintaku lentera dalam kangenku
Dimana aku harus pulang padamu
Menyegarkan impianku
Dari kepenatan lalulalang pikiran yang serba memburu
Entah catatan kehidupan
Atau cita-cita masa depan

Aku harus pulang keribaan kesucianmu
Kesucian yang membuat nafasku menjadi panjang
Dan lenguh berhenti berubah kegairahan
Dimana aku boleh tafakur
Memaknai nilai kelahiran
Agar kematian semoga menjadi perjalanan indah

6
Kelelawar malam lewat mematuk sekeping hatiku
Ke gunung ia membawanya
Ke tebing ia mencampakkannya
Sekeping lainnya masih disini
Dalam cawan kesetiaan
Dalam cawan kerinduan
Setegartegarnya aku menjaganya
Sambil berharap moga ada pesta paskah
Dimana kita bisa berbagi cawan Cintaku
Meneguk asmara
Dan merapalkan doa
Sebelum perahuperahu kita pergi
Meninggalkan bab akhir catatan kehidupan

7

Hanya seketika tapi abadi
Begitu aku mencintaimu Cintaku
Jika suatu ketika tubuhku telah menjadi tanah
Tanah itu akan menumbuhkan pohon kecintaanku
Biar burung-burung yang hinggap direrantingku
Membaca rinduku
Dan mengabarkan padamu
Dimana aku senantiasa berharap
Mengeja setiap isyarat di bening matamu
Buat kafan tidur abadiku

Gelembung-Gelembung Air

Apakah kau tahu makna derita hati
dalam cahaya ultra violet
menimpa lapangan kosong
tanpa rumput?

Di sana gelembung-gelembung air melepuh
pecah, melepas rasa termurni hutan basah
yang tak pernah menyaksikan sungai
membawa potongan-potongan hati menggigil

Manusia dalam gravitasi cintanya
menjadi sayap – sayap burung laut
mengepak, merdeka
dari ilusi benda-benda

Apakah kau ingin memilih?
bila pilihan selalu tak memberi jawaban
sedang kepastian senantiasa melepuh
menjadi gelembung-gelembung air
menguap di antara kenangan gelegar halilintar
yang membisikkan hujan

Bilamana kau beredar dalam gravitasi dua dunia
Bilamana kau tak mampu merabah getaran hati meletup
Gelembung-gelembung air terus pecah
Mengering dan pecah lagi