Sabtu, 16 Juni 2012

GETIR

durimu indah mawar
mengembang tumbuh bersama getir
kutatap embun elok dekat matamu
seribu tahun lamanya aku baru bisa berkedip
tapi senja itu kau berkata:
ada sejuta yang belum kulihat

duri menusukku mawar
jari-jariku gemetar
jantungku berdetak lari tanpa pelana
kagum dan takut bersenyawa
membentuk kisah indah

SAYAP PATAH

kau terbang tinggi menggapai langit
di dadamu melekat kuat sebuah perisai
seolah-olah kau tak pernah merasakan sakit
di atas sana awan dan cakrawala terusik

sayap kiri itu patah
oleh kuatnya hempasan angin
kau menukik tertatih-tatih
bersembunyi di balik mega-mega hitam kelam

engkau memohon minta pertolongan pada laut
bayu pun menghindar dari kecamuk amarahmu
ombak melemparkan tubuhmu ke peraduan senja
mahkluk-mahkluk membenci hari-harimu

semua telah kau keluhkan pada sang khalik
sorga dihinakan dan neraka dijunjung
dipasrahkan ragamu pada ketakutan abadi
menggiring langkahmu ke gerbang kematian

PILATUS

Pilatus sahabatku
Meski kursimu terbuat dari emasmu
Aku menyumbang suara untuk kursimu itu
Kini aku menjadi abdimu
sebagai rakyat dengan satu usahaku
Kuberikan lagi kau
tiga puluh juta lembar fee
dari peluhku sendiri
agar kelak aku dapat bekerja
dengan tiga ratus juta lembar uang negara
membangun rumah pejabat kampung

Pilatus sahabatku
kuserahkan tiga puluh juta butir jerih payahku
sepuluh persen sebagaimana rumusmu
kau ambil itu melalui tangan abdimu yang lain
yang kini menjadi mitra kerjamu
tapi kata abdimu
disana ada Pilatus kecil
sudah buatkan janji kroni
meraup tiga ratus juta lembar uang negara
membangun rumah pejabat kampung
Lalu aku bagaimana?
kemana butiran keringatku?
Pilatus sahabatku,
Di mana janjimu?

Kring....kring...kriiiinnngg....aku kering
Kupandang namamu di layar ponselku
Pe... I... El... A... Te.. U... Es...
PILATUS.... gumamku
jangan kau bohongi aku lagi
meski aku merana
janjimu dicampuri duri

Kring....kring...kriiiiiingg....aku benar-benar kering
Kupandang nama abdimu di ponselku
bukan PILATUS.... gumamku
syukurlah bukan GAYUS
abdimu menukar bagianku
dengan dua ratus sembilan puluh juta lembar rupiah
membangun rumah pengobat kampung

penukaran abdimu menyedot lagi keringatku
sebanyak lima juta lembar rupiah
ditambah kewajiban abdi pajak PPN dan PPH
aku menjadi semakin kering
rakyat pun selalu kering

Pilatus.....!!!
Aku benci kamu

ANAK PERTIWI KEPADA IBUNYA

Ibu......
benarkah ini rumah kita?
sedang dibangun
dibuat lorong-lorong
dibangun sekolah-sekolah
jalan-jalan produksi
jembatan dan jalan provinsi

tapi ayah kemana?

Ibu,
benarkah ini rumah kita?
dibangun pelabuhan ferry
dibuat Bandar udara
rumah sakit dan rumah dokter
kantor-kantor pemerintah

tapi ayah dimana?

Ibu,
mengapa pula tukang-tukang ini?
wajah mereka sama-sama tamak
Lieng Lung mirip Bun Tjiet
Ting Go Lang mirip Mang Gang
semua lini mereka tlah kuasai

Ibu,

DINASTI

akulah penguasa
tanah perbudakan manusia
bodoh, miskin, ingusan
meleleh di nusa pada
kesadaran jelata hilang entah
kemana perginya tuan mereka

ketiga pangeranku cerdik semua
bertumbuh dari uang negara
mudah saja memperolehnya
cukup belenggu pemerintah dengan kontrak
terbangun sudah sebuah nota
mengalahkan saingan sebelum laga

akupun leluasa meregangkan jari-jari
mekar bagiku sebuah dinasti
hanya dengan membodohi bupati
meski aku selalu merugi
besok lusa kusiasati ganti rugi
dengan berbagai jurus dan dalih

aku bebas membangun apa saja
sesuai mauku dan kehendak bupati
aku bebas mengubah apa saja
baik nilai, harga, jumlah dan isi
aku mudah melakukan semua
dengan sarana milik bupati

aku tuan
berhasil bangun kejayaan
dinasti

BATU KERAS

Air terjun menghempas persada
pada sebidang lembah yang lama tak terjama
sebuah batu meliat di rongga gua
seakan-akan menanti hempasan terkuat

air terus mengalir deras
mengubah bentuk keras batu itu
batu tak beranjak dari tempat
ia menanti dengan penolakan yang makin menciut.

TAWAO-MAKALEHI

aditinggi mengutus kami memata-matai
pasukan tentara berbaris di laut makalehi
isteri merintih ditinggal pergi

anak mengais pelepah nameng di tepi pantai
remaja melengkungi tulang-tulang pinekuhe
pemuda menggarami dengan butiran airmata

bersama mawendo kami ke tawao
bersembunyi di balik ombak bila datang perompak
berhanyut arus bila negara datang merampok

Ooo genggonalangi penguasa langit
berikanlah sedikit desahan saja
agar negri ini dapat bernapas

Ooo medelu, mekila, taghaloang
meraunglah dalam cemerlang bintangmu
agar generasi kami ceria menyambut pagi

KELAK BERSATU

Di leherku melingkar belenggu
Kemana-mana kucari hidupku
Ke lembah curam dan tebing-tebing kucari hatiku
meski letih dimakan usia aku pantang menyerah

Kutemukan kau menanti dalam kabut
Di sekitar persoalan carut marut
Menunggu datangnya ksatria jiwamu
Melepaskanmmu, membebaskanmu

Sungguh aku tak sanggup mengaktakan
tentang diriku sebagai milikmu
aku hanya mampu berharap kelak
kita dipersatukan meski hanya sesaat.

MENCAPAI SURGA

malam ini tak seperti malam kemarin
malam dimana gelap menggulita

malam ini purnama kecil menjamin
cinta kita telah mencapai surga

HARTA KARUN YANG HILANG

Selama 500 tahun lebih kite lelap dalam tidur panjang.
Para kolonialis meninabobokan kite
Mereka yang mengaku nasionalis mengiming-imingkan mainan warna-warni
agar kite tetap bayi tak bertumbuh.

Saya segra sadar dari mimpi amat panjang
Ada yang sangat bernilai nyaris hilang dari bangsa bayi pewaris harta karun itu.
Nilainya setara kemanusiaan.
Berapapun harga yang ditawarkan tak bisa membayarnya.

Tahun ini saya bertekad untuk melakukan pengembaraan
Jauh melintasi medan dengan segala rupa strategi perang
Hendak menemu-kembali (kan) harta karun milik pewarisnya.
Sebuah bangsa yang hampir sekarat.

Aku berdoa siang malam.
Memohon kebijaksanaan kepada Genggonalangi Ruata Salruluang.
Diperintahkannya Aditinggi untuk memberi aku bekal dari hasil tanah dan tanaman.
Disuruhnya Mawendo untuk menyediakan lantera yang hendak kubawa.

Bekalku adalah kearifan lokal.
Bukan kepandaian yang absurd.
Lanteraku adalah obor kemurnian nusa
Minyaknya laut yang tak pernah surut

Di tangan kananku sasinasa
Di tangan kiriku sasasa
Di bahu kananku sasalili
Di bahu kiriku sasahara

Dengan tegap akupun melangkah
menyelam semakin kedalam gelap samudera
aku berjumpa ompung berjubah puntiana
bersua kabinasa di tengah samudera

kuhardik mereka dengan mantra-mantra sasahara
yang kudapat dari petuah kulrano-kulrano adi daya

tangahiang menyapa ramah di mulut goa
berharap aku segera memulai karya
kubuka lantera dengan api mawendo menyala
sangat berharap aditinggi mengawal dari tahta

di dalam goa gelap gulita purbakala
aku berjumpa dengan alamina
ternyata dia anak aladin dan amina
mereka bukan pemberi kuasa

disebutnya panglima Chia dari China
dikisahkannya kesaktian Raja Yuda
bersama penyihir kembar bernama Isme dan Isma
mengklaim bangsa-bangsa harta mereka

Avatar mengurai empat unsur malapetaka
menjadi satu bentuk sukacita
Kendali api, air, angin dan tanah
Sesungguhnya hanya ada tiga dan hanya tiga saja.

aku harus merebut kuasa
memaksa mereka turun dari singgasana
menyerahkan seluruh harta dalam goa
milik kite penghuni nusa

DIAM

Aku tak sanggup lagi berbicara
Ketika semua yang kulihat adalah hampa
Di dalam bathinku memberontak sejumlah aksara
Mereka ibarat sepasukan tentara menuju medan laga

Aku kehabisan kata untuk kueja
Setiap suaraku adalah kemelut yang kau rasa
Secangkir kopi kepalsuan diracik dari akar-akar kebohongan
Sampai kau membuatku terdiam di sudut kota entah

Aksara kuajak berkawan
Bersekutu untuk melakukan perlawanan
Memerangi kesunyian dan memporak-porandakan semua harapan yg pernah kita lukis bersama
di kanvas kebenaran kita

lukisan itu memudar layu
ternoda keperawanannya oleh rasa takut bersalah
yang memaksa kertas menanggung bebannya
aku hanya bisa diam

Mulutku tak lagi punya kuasa, tapi lima jariku masih bisa berperang
Homer, Sophocles, Herodotus, Eurupides, Hippocrates memimpin di depan
Pikiranku mengundang Aristophanes dan Plato mengungkap berbagai dalil
Agar aku dapat berbicara dalam diam. Meski hanya untuk aku seorang.