Selasa, 29 Januari 2013

Sayap-sayap Patah (Khalil Gibran)

Wahai langit ....
Tanyakan pada-Nya 

Mengapa Dia menciptakan sekeping hati ini ....
Begitu rapuh dan mudah terluka ....
Saat dihadapkan dengan duri-duri cinta 

Begitu kuat dan kokoh ....
Saat berselimut cinta dan asa ....
Mengapa Dia menciptakan rasa sayang dan rindu di dalam hati ini ....
Mengisi kekosongan di dalamnya 

Menyisakan kegelisahan akan sosok sang kekasih Menimbulkan segudang tanya ....
Menghimpun berjuta asa ....
Memberikan semangat juga meninggalkan kepedihan yang tak terkira ....
Mengapa Dia menciptakan kegelisahan dalam jiwa ....
Menghimpit bayangan ....
Menyesakkan dada ....
Tak berdaya melawan gejolak yang menerpa ....
Wahai ilalang ....
Pernahkan kau merasakan rasa yang begitu menyiksa ini ? Mengapa kau hanya diam ....
Katakan padaku ....
Sebuah kata yang bisa meredam gejolak jiwa ini ....
Sesuatu yang dibutuhkan raga ini ....
Sebagai pengobat rasa sakit yang tak terkendali ....
Desiran angin membuat berisik dirimu ....
Seolah ada sesuatu yang kau ucapkan padaku ....
Aku tak tahu apa maksudmu ....
Hanya menduga ....
Bisikanmu mengatakan ada seseorang di balik bukit sana ....
Menunggumu dengan setia ....
Menghargai apa arti cinta ....
Hati terjatuh dan terluka ....
Merobek malam menoreh seribu duka ....
Kukepakkan sayap - sayap patahku ....
Mengikuti hembusan angin yang berlalu ....
Menancapkan rindu ....
Di sudut hati yang beku ....
Dia retak, hancur bagai serpihan cermin ....
Berserakan ....
Sebelum hilang diterpa angin ....
Sambil terduduk lemah 

Ku coba kembali mengais sisa hati ....
Bercampur baur dengan debu ....
Ingin ku rengkuh ....
Ku gapai kepingan di sudut hati ....
Hanya bayangan yang ku dapat ....
Ia menghilang saat mentari turun dari peraduannya ....
Tak sanggup kukepakkan kembali sayap ini ....
Ia telah patah ....
Tertusuk duri yang tajam ....
Hanya bisa meratap ....
Meringis ....
Mencoba menggapai sebuah pegangan ....

Selasa, 22 Januari 2013

DUNIA PARA IKAN

Sebagian ikan-ikan maha besar mengenakan jas menggiring ikan-ikan kecil ke dasar samudera gelap dengan jaminan di kedalaman itu banyak plankton. Memang, ikan-ikan kecil itu tahu di sana melimpah makanan. Ikan-ikan kecil masuk ke dalam kelam, mereka diburu ikan-ikan sedang, lalu dimangsa dengan nikmatnya. Ikan-ikan maha besar itu tidak memburu ikan-ikan kecil karena bagi mereka, "tambio (bahasa Sangihe: ikan yang makan lumut batu) bukan makanan sehat di kelasnya. Tambio si ikan kecil, hanya dimakan oleh mereka yang lapar, tetapi kantongnya tidak setebal ikan maha besar. Alhasil, dari kantong-kantong ikan sedanglah, si ikan maha besar makin memperbesar perutnya.
Ikan kecil yang malang, hendak berusaha keluar dari dasar kelam, karena disana martabat terinjak-injak oleh gelap. Kesenangan hanya sementara, leher mereka dibasahi sperma ikan-ikan sedang. Ikan-ikan kecil nyaris beku dalam kesepian. Ikan maha besar berhasil "merumahkan" ikan kecil dan makin sering menyediakan plankton dari hasil kotoran busuknya yang ditenggelamkan ke dasar sapitenk. Dari hasil makanan menjadi plankton, dari hasil pemerasan menjadi kencing bir yang diminum oleh ikan kecil dalam pesta pora di remang-remang pub, di hiruk pikuk musik dan teriakan nafsu betina meraung-raung menahan nikmatnya goyangan berbagai versi.
Harapan si ikan kecil untuk keluar dari kelam dasar lautan itu sulit dapat diwujudkan. Si ikan kecil butuh makan. Si ikan sedang butuh mangsa. Si ikan besar butuh ketenaran. Jika kepala si ikan kecil melongoh ke permukaan dan hendak memandang keluar dari jendela, si ikan besar melotot kemudian mengikatnya dengan hutang budi. Ikatan yang sangat kuat bagi ikan-ikan kecil. Ikatan untuk mempertahankan siklus kehidupan bawah laut yang amat kejam. 
 
   
 
 

Jumat, 18 Januari 2013

SURAT PAPA BUAT DIRTHA

Untuk anakku Dirtha 
Di RT Bahagia Kampung Sorga


Anakku,
Tak terasa sudah hampir tiga tahun lamanya papa tak lagi membathin.
Papa sibuk nak. Sibuk mengurus mama. Maafkan papa ya!
Tentu kamu sedang dipangku oleh Tante Angel.
Sampaikan ucapan terimakasih papa ke Tante Angel.
Bilang padanya, papa akan kirim bahan bangunan buat bangun rumah Dirtha di desa Sorga.

Anakku sayang,
Tahun 2012 lalu, mama sakit, nak!
Hati mama yang sakit. Itulah sebabnya papa sibuk.
Papa bekerja keras mengumpulkan puing-puing dari rumah kita yang hancur di kota yang ditinggali mama. Kota itu sudah gelap, nak. Tiada lampu di sana. Dan mama sudah tidak bersinar lagi. Tapi papa tetap menyayanginya. Mama adalah mamamu. Mama yang baik. Mama yang papa cintai selama-lamanya.

Anakku, kata Tuhan,
Anak-anak seperti Dirtha banyak sekali di Kampung Sorga. Beberapa belum punya rumah. Termasuk Dirtha. Mendengar bisikan Tuhan, bahwa kamu belum ada bahan untuk membangun rumah, Papa dan mama lalu sedih. Karena kami berdua belum berbuat sesuatu yang baik. Padahal Tuhan selalu mengingatkan papa dan mama untuk senantiasa berbuat baik. Bertingkah-laku baik. Hidup saling mengasihi dan menyayangi. Tidak boleh menyimpan dendam dan menghindari kehidupan duniawi yang berdasarkan pada kenikmatan sesaat, karena semua itu hanya akan menghasilkan penderitaan.

Tapi papa dan mama tidak mendengar kata Tuhan.
Itulah sebabnya tidak satupun perbuatan baik yang dapat kami berdua kirimkan ke Sorga sebagai bahan untuk membangun rumahmu di sana, nak. Tapi syukurlah Tuhan itu Maha Baik. Tuhan masih memerintahkan Tante Angel untuk menjagamu supaya kamu bisa makan dan hidup layak, meski belum punya rumah.

Anakku,
Surat ini ditulis papa pada bulan Januari 2013.
Sesaat setelah mama dan papa berjumpa pasca perkelahian sengit tentang ulah mama. Penyebab sesungguhnya hanya karena papa tak mampu memenuhi semua keinginan mama yang amat banyak.

Tapi jangan kuatir anakku.
Papa sudah tahan uji. Mama datang ke kota dan kembali ke hati papa.
Berdoalah agar mama menjadi baik.
Supaya mama dapat mengirim perbuatan baiknya sebagai bahan untuk membangun rumahmu di Sorga. Hanya sejauh informasi ini saja yang papa dapat sampaikan padamu anakku. Papa akan berusaha terus menerus untuk mengumpulkan kebaikan, sedikit demi sedikit. Bersabarlah anakku.

Sampaikan rasa terima kasihku kepada Tuhan.
Papa akan mengirim surat lagi bila sudah mengumpulkan bahan buat bangun rumahmu.
Ampuni kesalahan papa dan mamamu.

 

Kamis, 03 Januari 2013

PESAN

Sudah kupilih bibit terbaik dari buah yg kutanam 2 tahun lalu. Kupelihara dalam keyakinan dan kurawat dalam ketulusan. Kini menjadi pohon dengan buah yang sedikit kebaikannya. Buah-buahnya rusak membusuk dihantam angin laut. Pohon itu menuduhku sebagai penyebab buah-buah busuknya. Sesaat nampak hendak roboh dan menimpa diriku. Apa yg harus kulakukan untuk pohon ini? Haruskah kubisikan kepada badai agar mereka menjelma menjadi angin sepoi? Tidak mungkin, sebab badai terlampau ganas.

Tak semua orang bisa sekuat yang mereka pikirkan. Pikirannya akan selalu diuji dalam tekanan yg silih berganti sepanjang menjalani hidup, hingga suatu hari ia tiba pada sebuah simpulan yang selalu dibahasakan secara verbal sebagai sebuah "kesadaran". Padahal, sesungguhnya kesadaran bukan di akhir sebuah perjalanan. Kesadaran terletak di pangkal sebuah rencana.

Biarlah kemuliaan hujan menghapus jejak yang kutorehkan di tepi pantai sebelum ombak datang melindasnya seketika.

Pastilah kita semua menghindari chaos dan selalu melahirkan order... bagaimanapun kita memulai dari kebiasaan dalam merakit nilai menjadi perahu institusi, wadah yg akhirnya membawa kita pada tujuan bermasyarakat. Berkaryalah terus sahabat-sahabatku.... Temukan modelmu dalam kepiawaian menjahit "pemberontakan" dalam dialektika kehidupan. Aku disini merakit polaku. Maju terus, maju bersama. 

Kadang menjauh dari cinta itu lebih baik, bukan karena berhenti mencintainya, tetapi untuk melindungi diri dari rasa sakit.  

RINDU

Lolongan serigala di tepi laut Bitung mengundang hadir penghisap darah, bertengkar dalam club malam tentang sebuah nista. Kemarau Timika mengusirmu kembali dengan beban seribu berat. Tiada markas sebaik rumahmu. Tiada kasih sindah ibumu. Teladan jejaknya tak kau hiraukan. Hanya aura ayah dari selatan yang menghadirkan air mata kutukan di negri yang dibangun ibumu dengan martabat mulia. Di sana ia terus melambaikan tangan pertanda harap engkau kembali ke pangkuannya.

Kepada ilalang pangiang sampaikan salamku kepada daun jati di perkebunan pandu. Kepada rumput bukit pandu, titip rindu buat daun pisang pangiang. Lupakanlah darunu, bila kabut telah menutup langit jingga pantai patuku. Biarkan panas Makalehi terus membara dalam dada kaum tertekan yang sebentar lagi menjadi gembira sorak kemenangan di teluk tahuna. Karena kemanapun aku selalu memelukmu, hingga engkau kembali lagi ke peraduan dua bersaudara.

Lalu mengapa engkau terus berlari dalam suram yang gelap sambil berteriak dendam sehasta demi sehasta. Menumpulkan pasir-pasir baja-baja panas yang membakar dirimu hingga tak berasa. Dalam segala durhakamu, kutunggu kau di titik nol.