Kamis, 19 September 2013

JALAN



tiga tahun aku melewati jalan biasanya
melintasi gunung terpangkas serupa punggung letih
menyeberang jembatan, sungai, tengah kota

melewati klenteng bercat kuning merah pahatan naga

tiga tahun kulepas pagi senja di route itu
hingga tak kuingat lagi apa berubah di sana
semua jelas sekaligus samar
sejatinya selalu kulupa
biar tak jadi luka

sebab tak ada bisa menerka
kelam di depan
kecuali terus berjalan

antara jijik dan bernafsu
kuhabiskan tahuntahun di jalan itu
seakan demarkasi antara yang hidup dan yang mati
mesti kulewati, berjalan kaki atau dengan angkot
sambil sesekali mengingat tubuhtubuh kenangan
tak bernyawa meruap di debu jalan

ada wajahwajah kita kenal menghilang
wajahwajah baru lalulalang mampir memperkenalkan
seakan dua musim, panas hujan suatu lumrah

tapi ada pula harus kumuliakan di jalan ini
itu tentang seorang perempuan
entah bagaimana ia mau menikmati jalan yang sama
wajahnya cerah kendati cuaca di bandar
mengibar bendera pekat. tiangtiang berkarat

--di hatiku penat tak lagi kucatat—
karena penat bergasing sepanjang usia perjalanan
sangat kuhafal, lalu kubiarkan
meski aku merasa tubuhku mulai loyo
nafasku kian engah
harus menyusuri hingga semua langkah
tunai dan tanggal

itu mungkin karena alisnya terawat
betisnya licin padat
ia menemaniku tuntas susuri semua kelokan
lalu mencumbuku di pagi, menjalani jalan itu lagi

petakpetak grosir, meja kakilima, bendi dan gerobak
sudah bertahuntahun mengakrabi peluhku saat jatuh di litasan itu
terlindas mobil, para pejalan, dan disapu penyapu jalan

--hidup adalah terus bergerak—
terpiuh, lululantak
sekadar catatan boyak
tak lagi kutengkarkan
tapi juga tak kuaminkan

sebab di mata perempuan itu
telah kutemukan sesungguhnya Tuhan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar