Rabu, 12 Desember 2012

TULUS YANG KEBAL CEMBURU

Sejak kita berkenalan, aku sudah sadar tentang kamu. Kusadari bagaimana dirimu akan bertindak. Membentuk perilaku. Kucoba untuk memahami dirimu. Semua yang dikatakan saat-saat awal itu, sesungguhnya hanya sebongkah rasa. Mula-mula sebagai reaksi dari rasa ingin tahu siapa diriku dan keinginan untuk berteman. Sebuah keinginan yang iseng saja. Itulah awalnya. Dalam mabuk maskulinitas kau berkata: pemain kok dimainkan. Akupun hanya menelan kalimatmu itu. Mentah-mentah, sebab besok, lusa, tula dan entah bibirmu akan selalu berkata itu.

Waktu bergulir pada langkah-langkah pertama. Dirimu sekedar merasakan sensasi bergaul. Tanpa cinta. Gejolak dalam dirimu sungguh tidak stabil. Sebagai perempuan, kau tidak biasa. Kebiasaan buruk merokok, minum alkohol, keluar masuk pub dan kesendirianmu di senyap remang yang galau. Semua itu mewarnai hari-harimu. Gejolakku adalah seuntai masalah yang menghentar diriku beberapa minggu menetap bersamamu. Lalu kita merasa saling butuh. Saling melengkapi.

Kala itu kau tulus. Tidak ada rasa cemburu walau aku pulang, mala kau menyuruhku. Menyuruh pulang dan tetap setia mencintaiku. Kita saling setia tiada bandingnya, merancang tujuan kita untuk segra memiliki bayi. Obsesimu kala itu, aku dapat memberimu seseorang, jika bukan aku, kau mau: anak kita. Kita gagal oleh keguguran karena fisikmu lemah, jantungmu tak kuat. Atas nama cinta, kita sepakat untuk menunda rencana. Membuat rencana baru, membangun rumah kita.

Kau dan aku bekerja dengan tekun. Mengumpul dan mengumpul. Kau jatuh karena sakit, berkali-kali kau jatuh. Menegang dan nyaris pecah kepalamu. Cukup lama waktu dan ketelatenan menyembuhkan dirimu dari kemelut. Kuyakinan dirimu tentang umur yang panjang atas pertolongan Yang Mencipta. Kita berdoa bersama. Kita berlutut, menangis, memohon ampun padaNya.

Perlahan namun pasti, sifat maskulin mulai berganti. Feminim dalam dirimu muncul saat kau memakai rok dan baju terusan. lalu kita senyum dan tertawa kecil. Kita sedang berubah, kataku padamu. Berubahlah sesuai ayu-mu. Itu kataku di telingamu. Kekasihku, sungguh kau cantik. Katamu, itu pujian gombal karena hanya aku yang pernah mengatakan itu padamu, yang lain tidak. Kau mulai menemukan dirimu.

Semua sakit kita lewati bersama. Semua kerja kita kerjakan bersama. Di semua tempat, dimana-mana ada kita. Ada isosorbit maka ada eeorbit. Istilah kita yang menyembuhkan segala penyakit. Menghilangkan segala penat, segala lelah dan segala perkara. Kita tak terpisahkan hingga detik-detik itu. Meski darah meleleh keluar dari hidung bahkan anus, semua tak bisa menghentikan cinta kita. Sungguh kuat.

Hingga pada suatu waktu, kita nyaris mati bersama dalam ganas gelombang di sebuah pulau terluar milik para petarung. Kita berhasil mengalahkannya. Katamu, apapun yang terjadi, kau takkan pernah meninggalkanku, hingga studiku selesai, hingga aku tua, bahkan kalau perlu aku studi ke luar negeri dan kau ikut bersamaku. Mendengar semua itu, aku hanya bisa kagum.

Kau menyimpan sesuatu yang sangat bau. Tercium olehku. Lalu kau malu. Cermin di kamarmu menghina dirimu. Aku menghiburmu, menangis kita bersama meratapi dirimu di masa lalu kelam. Jangan dendam kekasihku. Kau menyimpan dendam. Bau. Tidak tulus. Buah tidak tulus itu busuk. Aku yang busuk ini, tidak tahu malu. Karena aku sudah busuk sejak dulu. Tetapi diriku tidak mau dendam.  Dendam hanya membuat hancur.

Engkau lain, berbalik melawanku. Menuduhku. Bersekongkol dengan penjahat. Lalu kau malu menemuiku. Karena dirimu terasa semakin kotor. Oleh dendam kau nyatakan dalam keyakinan seperti seorang yang perkasa, oleh dendam kau teraniaya lagi. Diperkosa pada saat aku sedang mencarimu ke setiap sudut kota. Dengan kepala tertunduk aku pulang. Merenung dan menangisimu.

Air mataku belum selesai. Kau sudah menemui pelaut yang disangka bisa mendampingimu selalu. Padahal kau tahu apa kebutuhanmu. Aku di daratan setiap saat bisa bersamamu. Si pelaut itu hanya singgah beberapa waktu lamanya lalu pergi. Mereka mengeluarkan cairannya sembarangan lalu minggat. Dia hanya seorang yang bercinta tanpa cinta. Sekedar menggetarkan getahnya menjadi wujud nana.

Atas semua kejadian itu, kau pun tak pernah siuman. Kau menuntut diriku tulus. Sudah kulakukan ketulusanku. Kau mala lari menjauh. Entah karena malu atau marah. Atau keduanya bercampur lebur. Padahal sesungguhnya aku hanya marah. Marahku untuk maksud mengubahmu. Bukan lagi waktunya mengguggahmu. Karena aku tahu, kau semakin dewasa. Kau bukan anak-anak lagi.

Dalam sakitmu yang kian bertambah, dalam sakitku yang kian bertumbuh. Jantung dan kanker payudaramu yang kian parah, engkau tak pernah pedulikan. Kau kejar terus menerus duniamu. Asap dan abu rokok, alkohol menjadi obat tidurmu. Disini aku menderita kanker kulit yang tak pernah kukeluhkan padamu hanya karena aku merasa tak baik memberimu beban untuk memikirkan persoalanku. Disini aku yang jatuh pingsan oleh sikapmu, tak pernah menuduh atas perbuatanmu yang sangat menyakitkan.

Diriku memikirkanmu siang dan malam, mencari cara terbaik untuk mempersembahkan yang terbaik buat dirimu, tetapi tidak menderitakan yang lain. Aku takkan pernah mau memberikan piala kepada "pecundang" yang memenangkan sebuah pertarungan dengan cara yang kotor. Aku ingin mempersembahkan cinta terbaikku tanpa merugikan pihak manapun.

Hingga dirimu pergi menjauh. Aku masih bersamamu. Dan kau tidak pernah menyadari kehadiranku di sisimu. Aku berlari ke dermaga dengan sebongkah luka di hatiku.

   
    

Tidak ada komentar:

Posting Komentar