Bandar itu dibangun tahun 1850, buruh belian keluar masuk hutan
Tuan Belanda menjaga dengan rotan
Keringat dan air mata tergambar di pinggir selatan
Menjadi cerita tanah air amat dalam
Lebih seabad kemudian engkau datang
Harusnya angin bawakan engkau kenangan
Yang ada terik di pintu bandar dan kabut mengapur seantero kota
kapal-kapal dan perahu mengabar lapar di pinggir masjid dan gereja
Tiang kayu dan embun pagi telah menguap menjadi rentah
isyaratkan azab pada layar duka, sujud penuh luka
di aras pintu bandar hingga kepinggir kota cinta tak lagi berjejak
menguning di pucuk rumput terjepit kakikaki menginjaknya
telah bertahun, berabad, mungkin bermilenia
engkau lupa hari dan tanggal berapa engkau pernah mendekapnya
dan menciumnya di bawah dahan cemara
dan matanya menjadi pelangi menikung dalam doa
engkau memang lupa kerna ia pergi
dibawah kapal-kapal ke bandar yang lain
Cuma kecemasan tinggal di buih mengelepar di bandar ini
seperti penjaga blengko ditinggal pergi pesembunyi
Eri katamu, mengapa kau lipat sunyi di tepi mimpi
Di emper berbauh tengik kunang-kunang tinggal satu dua
menyeringai malam kota nan ramai
tapi kau tak bersuara lagi bisu oleh halilintar di pesisir sangsai
engkau berkata-kata pada airmata membekas di tirai malam
Ketika engkau mencarinya di pucuk rumput atau di kaki abad
Eri katamu, seharusnya kau kembali mencintai pelangi
biar bandar ini ada jejak yang setia memintal cahya menjadi abadi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar