Sabtu, 06 Februari 2010

Surat Buat: Embun

Pernahkah engkau mengalami cinta dan kepedihan mengalir
dalam deras sungai perasaan hati yang sama. Dengan perasaan
semacam itu dapatkan kita memaknai hakikat keindahan atau
kegetiran, semisal dalam lagu-lagu Celine yang penuh harapan,
atau sayatan luka nan pedih dari keterhilangan panjang yang
mendedah jiwa dalam sajak-sajak Pascal Riou.
Manusia memang selalu angkuh dan sombong.
Setiap pagi mandi,
menyisir rambut kemudian mengenakan stelan yang gagah.
Padahal, kita senantiasa tak mampu dan tak kuasa membunuh
kebenaran yang dituntut hati nurani.
Pertempuran sengit itu setiap
detik berkobar dalam diri kita, tapi kita berusaha tersenyum
cuma karena alasan: agar kita tak terkucil dan terasing dari gerombolan
masyarakat moral. Sementara dalam senyuman kita itu dengan
deras yang sama, air mata kita mengalir dari mata air kejujuran
yang senantiasa merembes dari hati nurani kita yang tersuci.
Dengan sajak-sajakku, aku ingin keluar dari
kerangkeng hukuman tanpa ampun itu. Aku memilih terus berjalan
dan berkelana meski
yang kulintasi adalah jalanan senyap, dingin dan
membekukan. Aku
tak meminta belaskasihan untuk pilihan yang menyedihkan ini.
Aku ingin berkata dalam seribu sajak bahwa
aku berikhtiar bertemu
cinta. Karena ikhtiar ini, aku yakin
akan bertemu dengan sejumlah
kekonyolan, rasa sakit, resah, kebencian yang terus-menerus
melindasku berkali-kali. Tapi aku harus pergi pada cinta.
Hanya pada cinta, kepedihan itu tertepikan.

***
Sudah lama aku tidak percaya pada senyuman,
atau tingkah baik dan belas kasihan.
Semua kepalsuan itu bukan untuk aku.
Cinta bukan urusan keindahan tubuh, usia, dan pikatan
birahi. Cinta adalah perasaan yang senyawa. Cinta tidak buta.
Cinta memiliki mata hati yang lebih terang dari semua omong kosong dan kepalsuan seorang Don Juan. Jika aku
terbunuh, iapun terbunuh. Cinta tidak pernah berkhianat.
Dengan sajak aku memuja dan marah, mendambah dan resah untuknya.
Dengan seribu sajak kurasa belum cukup untuk memancang
tiang keyakinan yang utuh bagi rumah buat cinta bernaung.
Aku selalu pedih dan menggigil ketakutan karena semua itu.
Tapi,
aku pun selalu yakin bahwa cinta itu ada.
Betapun panjangnya lorong kelam itu, aku tetap akan ke sana
untuk bertemu dia.
Setidaknya aku bisa mati dalam siraman air matanya.
Dan,
Jika kamu merasa bukan sang cinta pergilah, begitu kataku pada setiap orang yang memandang cinta semata permainan. Sebab orang semacam itu, hidupnya betapa menyedihkan dibanding segala kesedihan.

***
Kebanyakan orang hidup dalam topeng. Ia menyembunyikan dirinya yang diderah habis-habisan oleh kepedihan yang sangat ia sadari. Ia membiarkan dirinya terkungkung dan dipasung oleh kemunafikannya sendiri hingga akhirnya ia tak mengenali samasekali dirinya. Ia telah mati.
Aku tak ingin mati dalam kesia-siaan semacam itu. Aku ingin mati dalam kesadaran penuh tentang kematian itu.
Dan aku akan lebih pasrah kehilangan segala daripada kehilangan cinta. Hanya cinta yang bisa membuat kita bertemu dengan kesadaran penuh. Bagiku, mati bersama cinta adalah pesona terindah bagi seorang anak manusia.

Manado, Dini hari, 19 Januari 2010
salam
SASTRA CINTA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar